Oleh: Candra Hosea
Ketua DPC GMNI Kota Depok
Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Kongres XXII GMNI 2025: Titik Balik atau Jurang Kehancuran?
Kongres XXII Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tahun 2025 sejatinya menjadi momen penuh harapan bagi seluruh kader ideologis marhaenis di Indonesia. Harapan akan lahirnya pemimpin yang mampu membawa GMNI kembali ke jalan perjuangan, bukan sekadar organisasi formalitas, namun pilar ideologis bagi pembelaan terhadap kaum marhaen di tengah arus zaman.
Namun harapan itu kini dihadapkan pada kenyataan pahit: munculnya figur calon ketua umum yang berstatus mahasiswa Drop Out (DO) dan telah kehilangan legitimasi struktural dan moral untuk memimpin organisasi sebesar GMNI.
Sujahri Somar: Dari Sekjen ke Calon Ketua Umum Kontroversial
Salah satu nama yang mencuat dalam pusaran kongres ini adalah Sujahri Somar, mantan Sekretaris Jenderal GMNI periode sebelumnya. Namanya berseliweran dalam berbagai flyer kampanye di media sosial, memperlihatkan seolah dirinya adalah sosok yang paling layak melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan nasional GMNI.
Namun, publikasi yang masif tidak mampu menutupi fakta mencengangkan yang baru-baru ini terungkap: Sujahri adalah mahasiswa DO sejak 2018, berdasarkan data resmi dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Ia tercatat sebagai mahasiswa IAIN Ambon yang telah “dikeluarkan” sejak semester Ganjil tahun ajaran 2018/2019.
Drop Out Bukan Sekadar Masalah Akademik, Tapi Integritas
Status DO bukan sekadar catatan akademik. Dalam konteks GMNI sebagai organisasi ideologis, ini adalah cermin kegagalan moral dan intelektual. Bagaimana mungkin seorang yang gagal menuntaskan pendidikan dasar di perguruan tinggi justru diberi mandat untuk memimpin organisasi ideologis yang mengakar pada nilai-nilai pemikiran Bung Karno?
Kepemimpinan dalam GMNI bukan soal popularitas, melainkan tentang kapasitas moral dan ideologis. Ketika seseorang dengan catatan akademik dan etika yang buruk justru didorong ke kursi ketua umum, maka kita patut bertanya: ke mana arah kaderisasi GMNI selama ini?
Melanggar AD/ART dan UU Kepemudaan: Pencalonan Ilegal
Selain masalah akademik, pencalonan Sujahri juga terbukti bertentangan secara hukum dan konstitusional. Merujuk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) GMNI, disebutkan bahwa usia maksimal untuk menjadi anggota aktif adalah 30 tahun.
Saat ini, Sujahri telah berusia 31 tahun, dan dengan demikian tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota, apalagi mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Lebih jauh lagi, hal ini juga bertabrakan dengan UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang secara eksplisit membatasi ruang kepemudaan bagi mereka yang telah melampaui usia yang ditentukan. Maka dari itu, pencalonan ini tidak hanya cacat moral, tetapi juga cacat hukum dan administratif.
Manipulasi Proses dan Praktik Pengabaian Nilai-Nilai Marhaenisme
Kongres kali ini bukan hanya sekadar ajang pemilihan, tetapi telah berubah menjadi arena manuver politis yang merusak tatanan kaderisasi. Ada indikasi kuat bahwa proses dan prosedur kongres telah disusupi kepentingan untuk meloloskan kandidat tertentu.
Sidang-sidang di luar ketentuan, lobi-lobi transaksional, dan pengabaian aturan main telah menjadi wajah baru dalam tubuh organisasi ini. Padahal, GMNI bukan organisasi pragmatis. Ia adalah wadah kader pejuang rakyat, yang dididik untuk menjunjung tinggi prinsip nasionalisme, marhaenisme, dan integritas.
Jika kita biarkan skenario ini terjadi, maka kita sedang membiarkan cita-cita perjuangan Bung Karno dinodai oleh ambisi segelintir orang.
Membangun Kaderisasi Sejati: Momentum Refleksi dan Evaluasi
Proses kaderisasi GMNI harus kembali ke akar ideologis. Kita tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik, melanggar AD/ART, dan memanipulasi proses kongres untuk menunggangi organisasi demi kepentingan pribadi.
Saat ini adalah momen refleksi bagi seluruh kader GMNI, dari Sabang hingga Merauke. Kita harus bertanya dengan jujur:
- Apakah kita masih berpegang teguh pada nilai-nilai marhaenisme?
- Apakah proses kaderisasi telah berjalan sesuai ruh perjuangan Bung Karno?
- Apakah kita membiarkan organisasi ini direduksi menjadi alat kekuasaan tanpa substansi?
Meneguhkan Marwah GMNI: Jangan Berkompromi dengan Ketidaklayakan
Kita tidak boleh tunduk pada tekanan popularitas semu. Pemimpin GMNI harus lahir dari rahim perjuangan, melalui proses kaderisasi yang sah dan murni. Bukan melalui manipulasi, bukan pula melalui klaim palsu atas pencapaian akademik yang tak pernah ada.
Membiarkan seseorang seperti Sujahri Somar menjadi Ketua Umum adalah bentuk pengkhianatan terhadap ideologi Bung Karno. Ini adalah pertaruhan besar atas marwah dan masa depan GMNI. Bila kita kompromikan prinsip hari ini, maka generasi kader mendatang akan tumbuh dalam kebingungan, tanpa fondasi nilai yang kokoh.
Menolak Lupa: Saatnya Kader GMNI Bersatu Selamatkan Organisasi
Kita menyerukan kepada seluruh kader GMNI, alumni, dan simpatisan, agar tidak tinggal diam. GMNI bukan milik satu generasi, bukan pula milik segelintir elite. Ia adalah rumah ideologi, dan setiap orang yang pernah belajar di dalamnya punya tanggung jawab untuk menjaganya tetap utuh dan bermartabat.
Mari tolak segala bentuk manipulasi dan pencalonan ilegal. Mari kita jaga rumah besar ini dari infiltrasi kekuasaan yang tak bermoral. Dan mari kita pastikan bahwa pemimpin GMNI ke depan adalah mereka yang benar-benar layak secara moral, intelektual, dan ideologis.
GMNI butuh pemimpin, bukan pemodal. Butuh pejuang, bukan pencitra. Butuh teladan, bukan sekadar selebritas.
Jika kita gagal hari ini, sejarah akan mencatat bahwa kita pernah membiarkan marwah organisasi ini dijual demi kekuasaan.